Intervensi Kegawatdaruratan Cedera Kepala
Kamis, 18 Juli 2013
0
komentar
CEDERA KEPALA
BAB I
A. Pendahuluan
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah sakit. Pada kelompok ini, antara 50.000 dan 90.000 orang setiap tahunnya mengalami penurunan intelektual atau tingkah laku yang menghambat kembalinya mereka menuju kehidupan normal. Dua pertiga dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Adanya kadar alcohol dalam darah terdeteksi lebih dari 50% pasien cedera kepala yang diterapi diruang darurat. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemia pada pasien cedera kepala biasanya karena cedera bagian tubuh lainnya.
Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respons terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakrania
B. Etiologi
1. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local merupakan contusio serebral, hematoma serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma oleh benda tajam dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakan menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu:
a) Cedera akson
b) Kerusakan otak hipoksia
c) Pembengkakan otak menyebar
d) Hemoragi keal multiple pada otak karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral batang otak atau kedua-keduanya.
Contoh trauma benda tumpul dan benda tajam:
a) Kecelakaan lalu lintas
b) Kecelakaan kerja
c) Trauma olahraga
d) Luka tembak
e) Kejatuhan benda
f) Benturan
C. Manisfestasi Klinis
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi:
• Gangguan kesadaran
• Konfusi
• Abnormalitas pupil
• Awitan tiba-tiba defisit neurologik
• Perubahan tanda vital
• Penglihatan dan pendengaran
• Disfungsi sensori
• Kejang otot
• Sakit kepala
• Vertigo
• Gangguan pergerakan
• Kejang, dll.
Karena cedera SSP sendiri tidak menyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera multisystem.
D. Patofisiologi
Pada cedera kulit kepala karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila cedera dalam. Luka kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
Jika terjadi fraktur tengkorak akan rusak kontinuitas tulang tengkorak karena trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka atau tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan bila fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
Perimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah apakah otak telah atau tidak mengalami cedera. Kejadian cedera “minor” dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen sampai derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel serebral membutuhkan suplai darah terus-menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja, dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi. Cedera otak serius dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cedera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak.
Kromosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Kromosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Getaran otak yang sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing atau berkunang-kunang, atau dapat juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu.
Pada kontusio serebral yang merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan; denyut nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari.
Hematoma (penggumpalan darah) yang terjadi didalam kubah cranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Hematoma disebut sebagai epidural, subdural atau intraserebral, bergantung pada lokasinya. Efek utama adalah sringkali lambat sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta peningkatan TIK.
E. Penatalaksanaan
Individu dengan cedera kepala diasumsikan mengalami cedera medulla servikal sampai terbukti demikian. Dari tempat kecelakaan, pasien dipindahkan dengan papan dimana kepala dan leher dipertahankan sejajar. Traksi ringan harus dipertahankan pada kepala dan kolar servikal dipasang dan dipertahankan sampai sinar-x medulla servikal didapatkan dan diketahui tidak ada cedera medulla spinalis servikal.
Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan homeostasis otak dan mencegah kerusakan otak sekunder. Tindakan ini mencakup stabilisasi kardiovaskuler dan fungsi pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral adekuat. Hemoragi terkontrol, hipovolemia diperbaiki dan nilai gas darah dipertahankan pada nilai yang diinginkan.
Tindakan terhadap Peningkatan TIK. Pada saat otak yang rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan TIK dan memerlukam tindakan segera. TIK dan memerlukan tindakan segera. TIK dipantau dengan ketat dan bila meningkat, keadaan ini diatasi dengan mempertahankan oksigenasi adekuat, pemberian mannitol, yang mengurangi edema serebral dengan dehidrasi osmotik; hiperventilasi; penggunaan steroid; peningkatan kepala tempat tidur; dan kemungkinan intervensi bedah neuro. Pembedahan diperlukan untuk evakuasi bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi kulit kepala berat. Alat untuk memantau TIK dapat dipasang selama pembedahan atau dengan teknik aseptic di tempat tidur. Pasien dirawat diunit perawatan intensif dimana ada perawatan ahli keperawatan dan medis.
Tindakan Pendukung Lain. Tindakan juga mencakup dukungan ventilasi, pencegahan kejang dan pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi. Pasien cedera kepala hebat yang koma diintubasi dan diventilasi mekanis untuk mengontrol dan melindungi jalan napas. Hiperventilasi terkontrol juga mencakup hipokapnia, yang mencegah vasodilatasi, menurunkan aliran darah serebral, menurunkan volume darah serebral, dan kemudian menurunkan TIK.
Karena kejang umum terjadi setelah cedera kepala dan dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia, terapi antikonvulsan dapat dimulai.
Bila pasien sangat teragitasi, klorpromazin dapat diberikan untuk menenangkan pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran. Selang nasogastrik dapat dipasang, bila motilitas lambung menurun dan peristaltik terbalik dikaitkan dengan cedera kepala, dengan membuat regurgitasi umum pada beberapa jam pertama.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan (dengan/tanpa kontras)
Mengindentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT Scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomaly sirkulasi serevral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarakhnoid
9. Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial.
10. Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
11. Rontgen Thoraks 2 Arah (PA/AP dan lateral)
Menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis menyatakan darah/cairan.
13. Analisis Gas Darah (AGD/Astrup)
Salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi melalui pemeriksaan AGD, seperti status oksigenasi dan status asam basa.
ASUHAN KEPERAWATAN
BAB II
A. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan utama pasien meliputi berikut ini:
a) Bersihan jalan napas dan ventilasi tidak efektif yang berhubungan dengan hipoksia.
b) Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan gangguan kesadaran dan disfungsi hormonal.
c) metabolisme, pembatasan cairan dan asupan yang tidak adekuat.
d) Risiko terhadap kecelakaan (yang diarahkan pada diri sendiri dan orang lain) yang berhubungan dengan disorientasi, gelisah dan kerusakan otak.
e) Perubahan proses piker (defisit fungsi intelektual komunikasi, ingatan, proses informasi) yang berhubungan dengan cedera otak.
f) Potensial terhadap koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan pasien tidak responsive, hasil yang tidak jelas, periode pemulihan yang lama, sisa kemampuan fisik pasien dan defisit emosi.
g) Kurang pengetahuan tentang proses rehabilitasi.
Diagnosa keperawatan untuk pasien tidak sadar dan pasien dengan peningkatan TIK juga berlaku.
B. Intervensi Keperawatan
a) Mempertahankan jalan napas.
Rasional: salah satu tujuan keperawatan yang paling penting dalam mengelola pasien cedera kepala adlah membangun dan mempertahankan jalan napas adekuat. Otak sangat sensitive terhadap hipoksia. Terapi langsung ditujukan untuk mempertahankan sirkulasi terosigenasi adekuat sehingga suplai darah memberikan oksigen ke otak untuk mempertahankan fungsi serebral. Pada obstruksi jalan napas yang menyebabkan retensi CO2 dan hipoventilasi, yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah serebral dan peningkatan TIK.
b) Memantau keseimbangan cairan dan elektrolit.
Rasional: Kerusakan otak dapat menghasilkan disfungsi hormonal dan metabolik. Pemantauan terhadap konsentrasi elektrolit serum adalah penting, terutama pada pasien yang mendapat diuretik osmotic, sehingga sekresi hormone antidiuretik tidak sesuai dan dengan demikian setelah trauma dapat mengalami diabetes insipidus.
c) Memberi nutrisi adekuat.
Rasional: Cedera kepala menyebabkan perubahan metabolisme yang meningkatkan konsumsi kalori dan ekskresi nitrogen. Terapi steroid juga meningkatkan status katabolisme. Sehingga bila keadaan pasien stabil segera diberikan makanan melalui pipa nasogastrik, yang dimulai bila pengeluaran CSS dari hidung tidak ada (rinorea serebrospinal).
d) Mencegah cedera.
Rasional: Pasien setelah koma sering mengalami periode letargi dan stupor diikuti dengan periode agitasi. Masing-masing tingkat bervariasi dan bergantung pada individu, kedalaman dan deviasi koma dan usia pasien. Pasien dengan koma dapat menjadi peningkatan agitasi sampai hari-hari terakhir. Kegelisahan dapat disebabkan adanya hipoksia, demam, nyeri atau kandung kemih penuh. Ini dapat dikatakan adanya indikasi cedera otak, tetapi juga menjadi tanda adanya pemulihan kesadaran. (Suatu keadaan gelisah mungkin menguntungkan karena paru-paru dan ekstremitas terlatih). Agitasi mungkin juga karena adanya gangguan kateter urinarius menetap, jalur intravena, restrein dan pengulangan pemeriksaan neurologik.
e) Memperbaiki fungsi kognitif.
Rasional: Walaupun terdapat beberapa kerusakan pada otak, pasien tetap hidup karena resusitasi dan dukungan teknologi, mereka sering menderita gangguan kognitif yang tidak dapat dideteksi selama fase akut. Gangguan kognitif meliputi penurunan memori. Penurunan untuk berfokus dan memperhatikan sebuah tugas (mudah beralih), penurunan kemampuan untuk memproses informasi, dan keterlambatan berpikir, merasakan, mengomunikasikan, membaca dan menulis. Kira-kira 25% - 30% orang-orang ini mengalami masalah psikiatrik atau emosi. Yang menimbulkan gangguan psikososial, tingkah laku, emosi dan kognitif yang menghancurkan keluarga serta pasien.
f) Mendukung koping keluarga.
Rasional: Cedera kepala serius dapat menyebabkan stres yang lama bagi keluarga karena penurunan fisik dan emosi pasien, hasil yang tidak dapat diprediksi dan perubahan hubungan keluarga. Keluarga melaporkan kesulitan yang nyata dalam perubahan tempramen, tingkah laku dan kepribadian. Ini dihubungkan dengan gangguan kedekatan keluarga, kehilangan waktu luang, dan hilangnya kapasitas bekerja, sama seperti isolasi social dan memerlukan orang yang dapat membantu perawatan pasien. Keluarga dapat mengalami marah, duka cita, merasa bersalah dan menyangkal dalam siklus yang berulang-ulang.
g) Pendidikan pasien dan keluarga dan pertimbangan perawatan di rumah.
Rasional: Rehabilitasi pada pasien cedera kepala dimulai pada waktu cedera dan pada saat dirumah dan masyarakat. Bergantung pada derajat kerusakan otak, pasien diberikan bentuk rehabilitasi special dalam membangun kembali kognitif pada pasien cedera kepala. Pasien dibantu untuk terus-menerus melaksanakan program rehabilitasi setelah keluar dari rumah sakit, karena keadaan ini dapat terus meningkat diatas 3 tahun atau lebih setelah cedera. Pengaruh pada perubahan didalam cedera kepala pasien dan kebutuhan rehabilitasi dengan waktu yang lama dalam keluarga dan kemampuan koping mereka dapat diketahui dengan melakukan pengkajian. Penyuluhan dan dukungan yang terus-menerus pada pasien dan keluarga dan perubahan status pasien adalah kebutuhan yang esensial bagi meraka.
Download file asli dan selengkapnya download here
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Intervensi Kegawatdaruratan Cedera Kepala
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://doxarticle.blogspot.com/2013/07/intervensi-kegawatdaruratan-cedera.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5